Jakarta – Sebuah tragedi memilukan di Sukabumi, Jawa Barat, menyentak kesadaran publik dan memicu respons keras dari otoritas tertinggi provinsi. Seorang balita berusia empat tahun bernama Raya meninggal dunia akibat penyakit cacingan akut yang parah, sebuah kondisi yang seharusnya bisa dicegah dan ditangani dengan mudah. Kasus ini tak hanya menjadi sorotan media, tetapi juga menjadi bukti kegagalan sistem pengawasan kesehatan di tingkat lokal.
Kronologi Sebuah Tragedi
Kisah pilu ini bermula dari sebuah video yang diunggah oleh lembaga relawan kemanusiaan, Rumah Teduh Sahabat Iin. Video yang viral di media sosial itu memperlihatkan kondisi Raya yang sangat mengkhawatirkan. Bocah malang itu menderita penyakit cacingan atau askariasis yang sangat parah. Cacing gelang hidup dengan panjang mencapai 15 cm terlihat keluar dari lubang hidungnya, sebuah pemandangan yang tak hanya mengerikan tetapi juga menjadi alarm bagi semua pihak.
Penyebab penyakit ini diduga kuat berasal dari lingkungan tempat tinggal Raya yang sangat tidak layak. Korban diketahui sering bermain di bawah kolong rumahnya, sebuah area yang juga difungsikan sebagai kandang ayam dan penuh dengan kotoran hewan. Kondisi kebersihan yang buruk ini menjadi tempat ideal bagi parasit untuk berkembang biak. Tragisnya, Raya tinggal dan dibesarkan oleh seorang ibu yang menderita gangguan mental dan seorang ayah yang sakit parah, membuat kondisi mereka luput dari perhatian.
Tim relawan dari Rumah Teduh Sahabat Iin, yang tergerak oleh video tersebut, segera bertindak cepat. Pada tanggal 13 Juli 2025, mereka mengevakuasi Raya untuk mendapatkan perawatan medis di rumah sakit. Namun, takdir berkata lain. Setelah berjuang melawan penyakitnya selama sembilan hari, Raya menghembuskan napas terakhirnya pada tanggal 22 Juli 2025.
Teguran Keras dari Gubernur Jawa Barat
Kematian Raya memicu amarah Dedi Mulyadi. Ia menyoroti tidak hanya kasus spesifik ini, tetapi juga masalah-masalah struktural di Sukabumi yang menunjukkan kurangnya kecekatan pemerintah daerah. “Kita tegur, kita tegur keras ini tidak boleh lagi landai seperti itu. Sukabumi itu kan problemnya banyak, infrastrukturnya buruk. Kemudian, 9.000 rumah yang terkena gempa belum terehabilitir. Ini diperlukan kecekatan bupati untuk kerja keras. Enggak bisa landai lagi,” tegas Dedi, sebagaimana dikutip dari *Metro TV*.
Sebagai bentuk tanggung jawab dan kepedulian, Dedi Mulyadi juga mengambil alih penanganan terhadap orang tua Raya. Ia memastikan bahwa ayah dan ibu Raya mendapatkan perawatan yang layak. Ayah Raya yang menderita sakit parah dan sang ibu yang mengalami gangguan kejiwaan dan TBC kini dirawat di Rumah Sakit Welas Asih. Langkah ini menunjukkan inisiatif pribadi Dedi untuk memastikan ada penanganan konkret, bukan sekadar kritikan.
Dedi juga meminta Kepala Desa untuk lebih proaktif dan bertanggung jawab dalam memantau warganya. Ia menekankan perlunya evaluasi mendalam untuk mencari tahu mengapa kasus seperti ini bisa “lolos” dan tidak terdeteksi oleh jaring pengaman sosial yang seharusnya ada, mulai dari tingkat lingkungan desa, bidan, puskesmas, hingga dinas kesehatan dan bupati.
Bupati Sukabumi Beri Pembelaan
Di sisi lain, Bupati Sukabumi, Asep Japar, menyanggah tuduhan tersebut. Ia membela diri dengan mengatakan bahwa pemerintah kabupaten tidak berdiam diri. Menurutnya, Raya telah dibawa ke Posyandu dan mendapatkan obat cacing. Bidan desa juga diklaim sudah berkali-kali mengunjungi rumah Raya untuk memberikan layanan kesehatan.
“Dalam kejadian ini saya tanya bahwa ini kita tidak diam. Bahkan, itu masih saudaranya kepala desa. Termasuk kepala desanya punya bidan juga. Jadi itu tidak dibiarkan,” ungkap Asep. Pembelaan ini menyiratkan bahwa masalahnya bukan pada kelalaian, melainkan mungkin pada kurangnya efektivitas penanganan atau bahkan masalah yang lebih kompleks di dalam keluarga itu sendiri, yang membuat upaya bantuan tidak maksimal.
Kegagalan Sistem dan Tanggung Jawab Moral
Terlepas dari perdebatan antara Gubernur dan Bupati, tragedi ini menjadi cerminan nyata dari kegagalan sistem. Kematian Raya tidak bisa hanya dilihat sebagai kasus individu, melainkan sebagai alarm bagi seluruh sistem kesehatan dan sosial di Indonesia. Kasus ini menunjukkan bahwa:
- Jaring Pengaman Sosial Belum Kuat: Kondisi keluarga Raya yang rentan, dengan kedua orang tua yang sakit, seharusnya sudah menjadi prioritas untuk mendapatkan bantuan dan pengawasan intensif. Fakta bahwa mereka “lolos” dari pantauan menunjukkan adanya celah besar dalam sistem.
- Sinergi Antar-Lembaga yang Lemah: Meskipun Asep Japar mengklaim ada penanganan dari Posyandu dan bidan desa, kasus ini tetap berujung pada kematian. Ini menandakan kurangnya koordinasi dan tindak lanjut yang memadai antara bidan desa, puskesmas, dan dinas kesehatan, yang seharusnya dapat mengidentifikasi masalah lebih awal dan memberikan perawatan yang lebih komprehensif.
- Peran Proaktif dari Pemimpin: Teguran Dedi Mulyadi menyoroti pentingnya peran pemimpin yang tidak hanya reaktif, tetapi juga proaktif dalam memastikan kesejahteraan warganya. Permasalahan infrastruktur dan sosial yang menumpuk di Sukabumi, seperti yang disebutkan oleh Dedi, memperburuk kondisi masyarakat yang sudah rentan.
Kematian Raya harus menjadi pengingat yang menyakitkan bagi pemerintah daerah untuk tidak lagi “landai.” Tragedi ini menjadi pelajaran berharga bahwa tanggung jawab seorang pemimpin tidak hanya sebatas pembangunan fisik, tetapi juga memastikan setiap nyawa warganya, terutama yang paling rentan, mendapatkan perhatian dan perlindungan yang layak.
Sumber: metrotvnews.com