Jakarta – Pergerakan nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) terus menjadi perhatian utama di pasar keuangan. Pada penutupan perdagangan Kamis, 21 Agustus 2025, rupiah kembali melemah, menandai kelanjutan dari tren yang ada. Pelemahan ini, meskipun tergolong tipis, mencerminkan kompleksitas dinamika pasar global, di mana pergerakan dolar AS menjadi faktor penentu utama.
Rupiah Mengakhiri Hari di Zona Merah
Data pergerakan rupiah pada hari ini menunjukkan pelemahan yang konsisten di berbagai platform. Menurut data dari *Bloomberg*, nilai tukar rupiah ditutup di level Rp16.288 per USD. Angka ini menunjukkan pelemahan sebesar 16,5 poin atau setara 0,10% dibandingkan penutupan hari sebelumnya.
Sementara itu, data dari *Yahoo Finance* juga mencatat pergerakan serupa, dengan rupiah berada di posisi Rp16.280 per USD, turun 15 poin atau 0,09%. Data kurs referensi Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (Jisdor) yang sering dijadikan acuan juga mencerminkan pelemahan ini, dengan rupiah berada di level Rp16.283 per USD.
Angka-angka ini menunjukkan bahwa tekanan terhadap rupiah masih ada, meskipun tidak drastis. Pelemahan tipis ini mengindikasikan bahwa sentimen pasar terhadap mata uang Garuda masih rentan terhadap faktor-faktor eksternal, terutama dari AS.
Misteri Pergerakan Dolar AS: Di Balik Pelemahan yang Penuh Teka-Teki
Ironisnya, pelemahan rupiah kali ini terjadi di saat indeks dolar AS (DXY) juga berada di bawah tekanan. DXY mengakhiri hari dengan penurunan marginal di dekat 98,20. Pergerakan dolar AS ini dipengaruhi oleh dua faktor utama:
- Risalah Rapat FOMC: Para investor sedang mencerna setiap kata dan kalimat dalam Risalah Rapat Komite Pasar Terbuka Federal (FOMC) yang baru dirilis. Risalah ini menjadi petunjuk penting tentang bagaimana para pejabat The Fed melihat prospek ekonomi dan kebijakan moneter di masa depan. Ketidakjelasan atau sinyal yang ambigu dalam risalah bisa menyebabkan volatilitas.
- Tekanan Politik: Pasar juga mempertimbangkan serangan baru Presiden Trump terhadap salah satu Gubernur Federal Reserve, Lisa Cook. Serangan ini memicu kekhawatiran tentang independensi The Fed, yang sangat dijaga oleh pasar. Ketidakpastian politik semacam ini bisa mengurangi kepercayaan investor terhadap dolar AS, sehingga menekan nilainya.
Seperti yang diungkapkan oleh Analis Valas OCBC, Frances Cheung dan Christopher Wong, pasar sebelumnya berekspektasi Ketua The Fed, Jerome Powell, akan memberikan pandangan yang *dovish* (cenderung melonggarkan kebijakan). Namun, para analis memperingatkan bahwa hal ini berpotensi menimbulkan kekecewaan jika Powell tidak memberikan pandangan yang tegas.
Menanti Sinyal Jelas dari The Fed
Masa-masa penuh ketidakpastian ini diperkirakan akan berlanjut. Perhatian pasar kini beralih ke rilis data ekonomi AS dan pidato pejabat The Fed yang akan datang. Beberapa data yang akan dirilis mencakup Klaim Tunjangan Pengangguran Awal mingguan, Indeks Manufaktur The Fed Philadelphia, Penjualan Rumah Lama, dan PMI Manufaktur serta Jasa S&P Global. Selain itu, Gubernur The Fed, Bostic, juga akan berbicara.
Semua data dan pidato ini akan menjadi penentu sentimen pasar. Jika data ekonomi AS menunjukkan kekuatan yang berkelanjutan, hal itu dapat menunda ekspektasi pemangkasan suku bunga, yang akan memperkuat dolar AS dan menekan rupiah lebih lanjut. Sebaliknya, jika data menunjukkan perlambatan, harapan untuk pemangkasan suku bunga akan menguat, dan dolar AS bisa melemah, memberikan ruang bagi rupiah untuk menguat.
Cheung dan Wong menambahkan bahwa kekhawatiran tentang konsistensi Powell dalam memberikan pandangan kebijakan yang jelas dapat membuat perdagangan dolar AS bergerak *sideways* atau mendatar. Artinya, volatilitas akan tetap tinggi, dan pergerakan signifikan hanya akan terjadi setelah ada kejelasan dari Powell.
Apa Artinya bagi Rupiah dan Ekonomi?
Bagi Indonesia, pergerakan ini sangat penting. Pelemahan rupiah, meskipun tipis, dapat berdampak pada biaya impor yang lebih mahal dan berpotensi memicu inflasi. Di sisi lain, pelemahan ini bisa menjadi dorongan bagi sektor ekspor. Pemerintah dan Bank Indonesia (BI) akan terus memantau pergerakan ini dengan cermat dan mengambil langkah-langkah yang diperlukan untuk menjaga stabilitas makroekonomi.
Investor di Indonesia disarankan untuk tetap berhati-hati. Pasar masih berada dalam fase transisi, menanti sinyal yang lebih kuat dari AS. Disiplin dalam manajemen risiko dan diversifikasi portofolio menjadi kunci untuk menghadapi ketidakpastian yang masih membayangi.
Sumber: metrotvnews.com